Menjadi musisi adalah cita-cita,
sama seperti keinginan menjadi dokter, insinyur atau presiden misalnya.
Karena berada di area musikal, sangat memungkinkan pencipta dan
pendengarnya menghadirkan sensasi dan ‘orgasme’ yang berbeda. Ketika
pencipta terhanyut dalam proses penciptaan sebuah lagu, pendengar
mungkin bisa terwakili dari kejadian-kejadian yang kental dengan lirik
lagu itu. Malah –secara pragmatis—lagu, lirik, pencipta dan
pendengarnya, bisa “menemukan” sosok dan kepribadian yang utuh dan
panjang lebar. Ibaratnya, mendengar lagunya saja, kita bisa membayangkan
sedang apa si penciptanya. SECARA TEORITIS, menjadi musisi dan komposer
handal adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak diraih dengan
sepele. Banyak yang lahir dari pola pendidikan akademis yang notabene
linier. Tapi tidak sedikit yang besar karena “kecelakaan” bernama
otodidak. Cara apapun yang ditempuh, akan “membesar” ketika si empunya
talenta itu mau mengembangkan diri dengan maksimal. Tidak pernah puas
dengan pencapaiannya. Di Indonesia, saya mencermat gejala “kepuasan yang
menghambat” ini begitu kuat dilakukan oleh banyak musisi atau composer.
Indikasinya sederhana, ketika mencapai titik popularitas tertentu,
banyak musisi yang merasa “itulah” puncaknya. Kemudian tidak punya
elemen-elemen lain yang membuatnya mengembangkan diri supaya bisa
benar-benar bertahan lama di industri yang memang tidak selamanya ramah
ini. Saya memang bukan musisi atau composer, hanya penulis yang mencatat
bagaimana musisi dan composer itu berproses menjadikan talentanya
sebagai kekuatan untuk bertahan. Saya hanya bergaul dengan musisi yang
sempat bercerita, curhat atau ngobrol iseng tentang apapun yang berbau
musik. Dan inilah “teori” saya tentang bagaiman seorang musisi
seharusnya menjadi musisi. Musisi bukan ‘lintah’ yang menyedot darah,
kemudian mati kekenyangan. Musisi buat saya adalah pendaki, yang harus
selalu berlatih keras untuk menaklukkan gunung-gunung yang tertinggi.
Kalau ada yang puas karena sudah mencapai satu puncak, dia “hanya” akan
tercatat di buku sejarah sebagai noktah kecil saja. Untuk menjadi
seorang musisi dan komposer yang baik, kamu perlu bekerja keras untuk
jangka waktu yang panjang, dan kamu harus terus-menerus menantang diri
untuk selalu memberikan karya yang baik. Kerja keras mungkin bukan satu-
satunya faktor yang mengarah untuk menjadi musisi dan composer yang
baik, tapi saya yakin itu adalah bahan yang paling penting. Beberapa hal
penting yang tampaknya sederhana, tapi menjadi kunci untuk sukses bagi
musisi, akan saya bedah disini. Tidak semua teori yang saya kembangkan
sendiri, beberapa diantaranya adalah ulasan cantik dari Malcom Gladwell.
Di Indonesia, nama ini amat jarang [atau malah tidak pernah]
disebut-sebut. Tulisannya tidak melulu soal musik, tapi banyak karya
lain yang sukses. Dia adalah penulis dan wartawan asal Kanada. Gladwell
mewawancarai beberapa musisi kelas dunia di Amerika dan Kanada, dan
menuliskan teorinya secara paralel dalam bukunya, Outlier [2008].
Menurutnya, kunci sukses musisi [dan bidang apapun] , adalah praktek.
Khusus untuk musisi, Gladwell member beberapa aturan: Berlatih skill dan
menulis lirik atau komposisi lagu, selama minimal dua jam setiap hari,
empat atau lima kali seminggu. Gladwell menyebut aturannya itu dengan
aturan 10.000 jam latihan. Pelatihan yang kamu lakukan pada setiap
instrumen, teori musik, jamming dengan teman- teman, saya katakana itu
semua membantu membuat kamu mejadi nusisi atau komposer yang lebih baik.
Prinsip yang harus kamu ingat adalah, practice makes perfect.
Membangkitkan perspektif musikal. Ini masih terdengar abu-abu sih.
Penjelasannya begini: kejenuhan dari rutinitas, biasanya akan membawa
kita pada stagnasi. Itulah yang bakal terjadi juga pada musisi. Nah,
menuliskan ide, bahkan yang paling tidak masuk akal pun, bukan barang
haram. Berikan ruang untuk out of the box, minta pendapat dan saran dari
orang lain yang kamu percaya. Kalau perlu, minta kritik yang paling
“menyebalkan” asal kamu siap dengan itu. Mengembangkan insting bermusik
yang baik [develop good musical judgment ]. Ide dasarnya adalah melihat
banyak musisi dan komponis mungkin mengalami “kegelapan” dengan
komposisi mereka sendiri. Nah, menemukan kembali insting bermusik, akan
membantu mencerahkan mereka dengan cara tidak bosan-bosan menempa diri,
mencoba hal-hal baru. Atau apapun yang “diluarkebiasaan”-nya saja.
Menganalisa Musikalitas Yang Sudah Dibuat. Seorang musisi yang laris
manis sebagai pencipta lagu dan penyanyi, pernah mengatakan kepada saya.
Setiap lagu yang berhasil dibuatnya, selalu didengar lagi dan dianalisa
secara komperehensif. “Kalau kemudian ternyata kurang enak dan tidak
pas, meski materi sudah jadi, ya tidak kita pakai!” tegasnya. Analisis
membantu kita untuk mengetahui cara kerja musik, dan pengetahuan yang
kita miliki tentang hal itu. Harapannya, kita lebih mampu untuk
menciptakan jenis musik yang pas, enak, berkualitas dan didengar banyak
orang. Perbesar Rasa Ingin Tahu. Jangan pernah puas dan bertanyalah
selalu.Kalau mengambil jargon dari kuliah filsafat yang saya pelajari,
jadilah orang yang gelisah, karena kegelisahan itu akan membuatmu pada
jawaban-jawaban yang kamu inginkan. Begitu pula dengan musisi. Ketika
dia banyak bertanya dan selalu gelisah dengan karya-karyanya, dia akan
selalu belajar mencari formulasi yang lebih baik dan lebih baik.
Terbuka. Bersedia belajar banyak hal baru dan openMind sebagai musisi
dan composer. Percaya deh, kamu akan terkejut ketika otak mampet yang
kamu punya itu, dibuka dan menerima banyak hal baru yang berkaitan
dengan musikalitas. Menarik. +++ Musik bisa dianalogikan dengan banyak
hal yang ingin disampaikan. Kedalaman lirik [meski soal kedalaman ini
masih bisa digugat] pada dasarnya adalah ‘kaca benggala’ untuk memahami
sebuah perasaan diri sendiri [atau penikmat yang menyimak]. Bisa bicara
soal kemanusiaan dan atau politik [U2, The Beatles, Rage Agains The
Machine sering bicara topic ini], moral [mungkin lebih pas kalau
disinergikan pada musik religi], dan kehidupan [ini bisa bertutur soal
cinta, psikologis, seks, masa lalu, trauma yang pernah dialami
seseorang] Menjadi besar bukan identik menjadi berkualitas. Meski
kualitas tidak selamanya jadi besar. Tapi belajar menjadi lebih baik,
dan respect pada musisi lain, buat saya tetap menjadi yang terpenting.
Kelak, kredo ini bakal jadi menu wajib musisi dan composer. Siapapun dan
duduk “kasta” mana pun dia.
0 komentar:
Posting Komentar